Senin, 26 Desember 2016

Fungsi Duplex Printing yang Jarang Terungkap

AlhamduliLlah, saya punya printer inkjet multifunction, Brother MFC-J625DW, yang sudah lama nangkring di meja kerja saya sejak beberapa tahun yang lalu. Printer ini berbeda dengan Epson EP-978A3 yang belum lama menjadi penghuni rumah. Menurut saya, si Brother lebih bandel, lebih mudah ditangani ketika bermasalah--mungkin karena ini printer Brother inkjet kedua saya--dan cartridge-nya lebih banyak memuat tinta. Meskipun, agak sedikit sensitif pada sensor cartridge-nya sehingga saya sudah beberapa kali mengganti sensornya, dengan DIY tentunya.


Penampakan Si Brother

Mengapa saya masih harus punya sang Epson? Karena saya menginginkan printer yang mampu mencetak di kertas berukuran A3. Sedangkan Brother ini hanya mampu mencetak di kertas dengan ukuran maksimalnya Legal.

Satu hal yang saya syukuri dengan Brother MFC-J625DW ini adalah kemampuannya mencetak secara duplex, yaitu kemampuan mencetak bolak-balik pada satu lembar kertas. Yang menjadi lebih adalah kemampuan duplex-nya adalah bersifat otomatis. Ya, hanya melalui pengaturan yang disediakan, kita bisa membiarkan mesin cetak ini bekerja sendiri mencetak bolak-balik tanpa campur tangan kita lagi. Sementara pada printer lain kemampuan duplex-nya masih manual, artinya si mesin masih memerlukan tindakan "campur tangan" kita lagi. Meskipun campur tangan kita hanya sederhana, yaitu memindahkan kertas yang telah dicetak satu muka ke tempat penampungan kertas (tray) untuk dicetak permukaan satunya lagi tanpa mengubah posisi permukaan kertas ditambah memencet tombol untuk menyetujui proses cetaknya.  

Jadi, dengan Brother MFC-J625DW ini saya bisa membiarkan dia mencetak dan membolak-balik kertas sendiri, sementara saya mengerjakan hal-hal lain (kadang asyik memperhatikan cara kerjanya, mendengar bunyinya, melihat keluar dan masuknya kembali kertas itu untuk dicetak permukaan baliknya, sambil terbengong-bengong). Dan, hasil kerja printer ini yang kadang membuat saya merasa berguna bagi ketiga anak saya adalah beberapa buku BSE hasil mengunduh gratis yang kemudian saya cetak dengan Brother MFC-J625DW ini yang lalu saya jilid sendiri. 


Sebagian BSE Hasil Cetak Si Brother

Terus terang, saya baru menyadari keberadaan fasilitas Duplex Printing otomatis di printer ini setelah beberapa tahun memilikinya. Sehingga, rasa terkejut pun muncul. Lalu, si printer saya pekerjakan terus-menerus untuk proyek pencetakan BSE itu. 

Akan tetapi, ada satu hal yang menjadi catatan saya ketika mengerjakan proyek BSE untuk anak-anak saya, yaitu ukuran kertas yang bisa digunakan untuk memanfaatkan fasilitas Duplex Printing otomatis ini. Ukuran kertas yang bisa memanfaatkan fasilitas Duplex Printing otomatis pada printer ini adalah A4 (210 x 297 mm), Letter (215.9 x 279.4 mm), Executive (184.1 x 266.7 mm), A5 (148 x 210 mm) dan A6 (105 x 148 mm). Khususnya untuk pencetakan BSE, ukuran kertas yang ada di pasaran yang cocok atau mendekatai ukuran BSE adalah ukuran B5 (182 x 257 mm). Sedangkan ukuran kertas pada printer yang mendekati ukuran BSE adalah ukuran Executive (184.1 x 266.7 mm). 

Jalan yang saya tempuh adalah memotong sedikit kertas berukuran B5 menjadi berukuran Executive sehingga hasil cetaknya benar-benar simetris antar kedua permukaan kertas. Bila tidak, misalnya dengan menggunakan kertas B5 dengan begitu saja, saya lihat hasilnya mengecewakan. 

Belakangan saya membeli kertas novel atau kertas buku yang berwarna agak kekuningan di Cicadas, Bandung. Di antara beberapa alasan memilih kertas ini gramasinya yang ringan dan membuat mata nyaman membaca tulisan yang tercetak di atasnya. Berbeda dengan kertas HVS yang memberi kesan menyilaukan mata. Di toko penjualnya, kertas itu dapat kita minta untuk dipotong-potong sesuai permintaan. Nah, saat itu saya minta ukuran Executive dan A6. Dengan begitu pengerjaan pencetakan akan menjadi lebih mudah. Akan tetapi, jenis kertas ini memberi kesan yang tidak bagus untuk pencetakan dengan printer inkjet. Inilah yang membuat saya terdorong memikirkan untuk punya printer laser!!! Hah, nggak ada ujungnya.

Awisurat, 26 Desember 2016/26 Rabii' al-Awwaal 1438

Minggu, 25 Desember 2016

Kuku Jempol Kaki Bebas dari Nanah dan Bau

Agak malu sebenarnya saya bercerita tentang ini. Seperti membongkar aib sendiri begitu. Tetapi, niat ingin berbagi pengalaman dan trik lebih memenangkan pertarungan (kok gini bahasanya, ya? He he). Ada satu lagi risiko tulisan ini, yaitu saya harus menyebutkan solusi yang bernada promosi. Kita lihat saja nanti.

Permasalahan kuku jempol saya yang berbau dan kadang bengkak memerah dan bernanah sudah lami sekali saya alami. Bertahun-tahun, mungkin. Awalnya tidak terlalu saya permasalahkan. Sempat juga saya merasa nggak pede dengan diri saya sendiri ketika tahun 2003 atau 2004 saya memperoleh pekerjaan meng-input data inventaris Pemkab Sumedang. Pekerjaan itu mengharuskan saya memakai sepatu seharian. Padahal sebelumnya, selepas kuliah, saya terbiasa memakai alas kaki non sepatu yang menutup rapat telapak kaki. Mulailah bau tak sedap yang berasal dari kuku jempol kaki saya meneror rasa percaya diri saya. Saya usahakan dengan berbagai cara untuk meredam bau itu, tapi sepertinya tidak berhasil dengan maksimal. Hingga kemudian saya tidak memikirkannya lagi.

Baru kemarin-kemarin, beberapa tahun--mungkin dua belas atau tiga belas tahun--setelah teror pertama, ketika saya akan mengikuti kegiatan semacam survival, barulah saya ngeh dengan kuku jempol kaki lagi. Ya, mulai tercium bau tak sedap dan ada bengkak merah di sisi luarnya. Saya membayangkan bagaimana jadinya kaki saya selama kegiatan itu. Terbayang oleh saya kaki yang terus terbungkus sepatu sepanjang hari, belum lagi dengan kemungkinan basah karena air sungai dan lainnya. Kekhawatiran itu membuat saya mencari-cari cara mengatasi masalah ini.

Ternaya banyak cara yang orang tawarkan. Ada yang berdasar pengalaman, ada yang karena ingin menjual produk, ada yang sekedar njiplak tulisan orang lain. Akhirnya, dengan pertimbangan kepraktisan, saya gunakan sejenis minyak urut tradisional yang sudah dikemas dalam botol. Minyak tersebut berbau khas. Kata isteri saya, baunya sangat akrab dengan bau yang tercium ketika dia melewati toko-toko milik Babah Tionghoa ketika dia bersekolah SLTA di Kota Sumedang dulu. Saya lihat juga di label luarnya tertera tulisan China. Ada gambar tawon atau lebah di label itu. Ya, orang menyebutnya Minyak Tawon. Padahal, dalam penjelasan bahan pembuatannya, tidak ada bahan yang berhubungan langsung dengan tawon.

Hasilnya? Dengan mengoleskannya--saya biasa lakukan menjelang tidur malam, karena tidak segera dibasuh dalam waktu cepat setelah pengolesan--beberapa kali, beberpa hari kemudian hilanglah rasa sakit, bengkak dan bau dari jempol kaki saya. AlhamduliLlaah. Tapi, ada satu yang sangat saya sesalkan. Meskipun kaki saya sudah sembuh, saya tidak bisa mengikuti kegiatan itu. Karena itu juga saya sempat marah bebebrapa hari kepada isteri saya. Saya menuduh dia sebagai penyebab batalnya saya mengikuti kegiatan yang menurut saya sangat penting itu. Meskipun akhirnya saya sadar, bukan sesederhana itu masalahnya. 

Lepas dari semua itu, kaki saya sembuh. Terimakasih yaa Rabb.

Awisurat, 25 Desember 2016/25 Rabii' al-Awwaal 1438
     

Kamis, 22 Desember 2016

Pengalaman dengan Barang Elektronik (untuk) Luar

BismiLlaah

Sudah lama sebenarnya saya ingin berbagi cerita tentang masalah ini. Ceritanya, saya sudah amat pingin punya printer yang bisa mencetak di atas media kertas berukuran A3. Keliling-keliling di dunia maya, kesana-kemari saya dapati rata-rata printer dengan kemampuan seperti itu berformat bongsor. Apalagi printer idaman saya adalah yang multifunction, bisa print, scan dan copy.

Hingga di suatu saat, saya melihat ada iklan di toko jual-beli online yang menawarkan printer dengan yang saya maui. Si pengiklan bilang barang langka, rare item, meskipun barangnya berwarna putih, bukan item (becanda, ha ha). Memang ada jeda beberapa bulan antara waktu pertama melihat iklan (dan cari-cari informasi tentang barang) tersebut dengan pembeliannya. Karena takdir Allah Ta'ala jua isteri saya mendapat rejeki agak banyak dari keluarganya. Jadinya, saya pun mendapat dana talangan untuk menjemput si printer idaman.

Karena penjual printer tersebut ada di Bandung, saya pun melalukan perjalanan ke kota, jadi ingat film jadul "Kabayan Saba Kota". Saya dan si pengiklan sepakat untuk bertemu di dekat pasar Sadang Serang. Untuk menuju ke sana, dari Tanjungsari, Sumedang, saya harus naik turun beberapa kali kendaraan umum. Mulai dari DAMRI, angkot dan angkot lagi.

Singkatnya, saya pun diantar ke persemediaan si printer. Saya lihat masih utuh kardus beserta perlengkapannya. Hanya saja memang kardusnya terlihat bekas dibuka. Artinya, saya bukan orang pertama yang memeriksanya. Setelah sedikit tawar-menawar, sepakatlah kami dengan harga yang disebutkan di iklan. Ya, tanpa diskon atau apalah. Printer pun saya bawa pulang, mudik.

Dengan rasa gembira, dicobalah itu printer. AlhamduliLlaah berjalan. Senangnya hatiku, punya printer yang bisa nyetak A3 tetapi ramping. Printer itu adalah Epson EP-978A3. Hingga beberapa kali percobaan, printer dengan enam warna tinta itu menunjukkan keasliannya dengan cara tak terduga. Ternyata printer itu berdaya listrik 100V, haduuh. Ya, Saya baru ngeh setelah ada bau gosong dan listrik rumah njepret. Ya Rabb, kenapa saya nggak perhatikan label kecil di bagian belakangnya. 


Label Kecil di Belakang Si Printer

Yang agak membuat saya heran, si printer ternyata made in Indonesia. Tapi semua lembar dan buku panduannya hanya berbahasa Jepang. Saya belum mengerti tentang ini. Apakah hasil produksi Indonesia ini lebih bagus sehingga Jepang memasarkannya untuk mereka sendiri? Kenyataannya, banyak printer yang kita pakai dibuat di China. Dalam situs resmi pemilik merek printer yang berpusat di Jepang itu pun hanya disediakan uraian tentang si printer dalam bahasa Jepang. Sementara printer dengan merek sama tetapi beda type didukung dengan berbagai bahasa.

Untuk mengatasi masalah perbedaan voltase ini saya pun melakukan berbagai upaya. Mulai dari membawa ke tukang servis, lalu membeli stabilizer, mengganti sikring, dll. Akhirnya, jalan terakhir yang ternyata it's works adalah membawa blok power supply printer tersebut ke ahlinya di Istana Plaza Kosambi.

Setelah bertanya sana-sini ke beberapa gerai yang berhubungan dengan printer, saya ditunjukkan ke tukang servis khusus power supply dan yang berkait dengan itu. Pak Aseph namanya, masih di Istana Plaza. Dan, dengan membayar Rp 150.000,- si printer bisa berjaya kembali, tanpa harus memakai stabilizer. Sesuai permintaan saya, Pak Aseph mengubah komponen power supply-nya sehingga siap dialiri listrik 220V. AlhamduliLlaah.

Awisurat, 22 Desember 2016/23 Rabii' al-Awwaal 1438